Perhatian : Cerita Ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama
tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah tidak kebetulan semata, dan
memang ada unsur disengaja. :D
Pacar Pertama
Waktu istirahat untuk anak SMA adalah moment dimana kalian mengisi perut atau memrilekskan pikiran dari kegiatan belajar yang membosankan, dan kantin adalah tempat yang paling disukai oleh mereka mendera perut keroncongan. Asap kua bakso yang mengepul dan ramainya kantin tak menghalangi aku menghabiskan semangkok baksoku yang masih hangat. Mendadak aku menghentikan kegiatan mengeksekusi baksoku, aku mematung dan tertegun saat melihat Anita, sedang melangkah masuk ke kantin. Rambutnya yang berdiri di atas bahunya menari mengikuti langkah kakinya yang perlahan. Setelah kejadian simpang tiga yang tragis itu memang aku jadi dekat dengan Anita karena sekelompok mengerjakan tugas. Tapi gak terbanyangkan olehku kalau akhirnya aku jatuh hati juga pada Anita.
Harum stroberi langsung memenuhi kantin dan perlahan membuat otakku konslet. Mataku hampir melompat ke luar saat melihat seorang pria klimis berjalan bersamanya dengan tangan saling menggenggam erat. Orang itu bernama Beny. Mangkok bakso yang telah kosong tergeletak begitu saja, aku menundukkan kepalaku tak berani menatap lagi. Kekayaan dan ketampanan Beny menginjak-injak rasa percaya diriku. Dibandingkan dengan Beny, aku hanyalah seorang yang masuk dalam golongan anak-anak culun, gak gaul.
“Kamu gak apa-apa put?.” Tanya Rodhy.
“Aku minder. Sepertinya aku harus ngejauhin Anita sekarang juga.” Aku menatap mangkok yang telah kosong
“Kamu harus tetep berjuang! Kamu mau kehilangan dia begitu aja? Jangan sampai suatu saat nanti kamu lagi sekarat sendirian di rumah sakit karena gak ada orang yang mau sama kamu, terus kamu bilang. Harusnya dulu aku dengerin kata Rodhy. Terus kamu mati.”
Aku terdiam. Aku berdiri dan melangkah ke ibu kantin sembari memberikan 5000 rupiah. Aku melangkah ke kelas dengan gontai meninggalkan kantin yang ramai. Kata-kata Rodhy terus menghantuiku. Aku tak mau kehilangan Anita seperti aku kehilangan Safhira, tapi aku takut dan tak yakin bisa mendapatkan Anita. Aku terus melamun di pojokan kelas saat Bu Risa sedang membicarakan Sultan Hasanudin. Suara Ibu Risa terdengar samar, dan aku lebih memilih mengabaikannya. Tetapi walaupun sudah mengabaikan, masih ada satu kalimat dari bu guru yang mendadak terdengar sangat jelas.
“Walaupun dibuang, dicerca dan disiksa Sultan Hasanudin tetap berjuang demi sebuah kemerdekaan.”
Aku merasa tercerahkan, aku harus memerdekakan perasaanku yang terjebak dalam relung dada ini. Cinta seharusnya bagai burung yang harus terbang melayang dan menari-nari di awan. Aku mentekatkan hati, aku yakin untuk mengungkapkan perasaanku nanti setelah Anita selesai latihan Paskibra. Pertama, aku harus memberikan hadiah yang dapat meluluhkan hatinya. Bunga, iya bunga, akan kuberikan dia bunga sepulang sekolah dan nembak dia sepulang latihan Paskibra.
Setelah sekolah berakhir aku menggenjot pedal menuju toko bunga. Sesampainya aku didepan toko bunga, toko malah tertutup rapat dengan tulisan TUTUP tertempel di depan pintu. Aku menggigit bibir dan memutar otak, karena sudah tak ada lagi toko dan taman di sekitar sekolah.
“Bunga di sekolah!” teriakku bicara pada diri sendiri. “Tapi itu dilarang. Ahh, aku harus terus berjuang demi cinta!”
Aku lanjut pergi ke sekolah. Harum bunga Daisy menusuk hidung, terlihat setangkai bunga berwarna putih di dalam pot hitam besar. Di depan Pot tertulis “JANGAN DIPETIK!” Tapi aku tetap memegang tangkai bunga itu. tanganku bergetar, keringatnku mengalir deras, aku menoleh kiri kanan tak ada seorang pun. Dengan satu tarikan napas aku memetik dengan perlahan. “KAMPRET! BIASA AJA LO!” teriakku karena kepala serasa dihantam sesuatu. Ternyata Kepala Sekolah berdiri di belakangku dengan menggenggam tas kerjanya. Tatapannya tajam mengiris-iris perlahan, senyum pasrah, aku hanya terdiam dan tersenyum pasrah.
“Eh Bapak. Bapak kelihatan keren banget hari ini, hehe.” Pujiku mencoba menumpulkan tatapan Pak Kepsek. Tapi Pak Kepsek tetap menjewer kupingku.
“Mengapa bunga itu kamu petik?” Tanya pak kepsek tegas.
“Maaf Pak. Ini buat temen saya.” Jawabku sambil merintih kesakitan.
“Memangnya ucapan maafmu bisa menumbuhkan bunga itu?”
“Tapi Pak bunga bisa ditanam lagi, tapi tidak dengan hubungan saya ke dia. Bunga ini untuk teman terbaik saya Pak! Dan dengan setangkai bunga putih ini saya ingin mengungkapkan perasaan saya!” ucapku yang menatap Pak Kepsek dengan mata berkaca-kaca.
“Hahahaha!!” Pak Kepsek tertawa terbahak-bahak.
“Bapak gak marah lagi?”
“Bapak dulu juga pernah suka sama seorang wanita. Saat itu pula Bapak ingin memberikan hadiah, dan Bapak berilah dia pisang satu gepok. Pisang itu Bapak dapat dari mencuri di kantor Pak Camat. Sudah ambil saja bunganya. Besok Bapak akan tanam bunga yang banyak di sini, supaya kamu beri ke semua wanita. Hahahaha.”
“Makasih banget ya Pak!” aku langsung meninggalkan Pak Kepsek yang masih sibuk tertawa dan berlari ke lapangan tempat Anita latihan.
Para anggota telah bubar, tetapi aku masih tak menemukan Anita. Aku masih menolah-noleh mencari, Tiba-tiba sebuah Motor hijau berkilau datang dari belakang hampir menabrakku. Dia membuka helm dan mulai menatap sepion motornya sambil merapikan, rambut berkilau yang mebutakan mata. “Anita, Ayo!” teriak Beny kepada Anita. Anita membalasnya dengan senyuman lembutnya dan menghampirinya. Tapi aku tak mau lagi kehilangan kesempatan lagi, cukup umtuk yang kemarin. Aku berdiri di depan Anita, Anita memandangku dengan rasa penasaran. aku membulatkan tekad dan mengatur napas.
“Ada apa put?” Tanya Anita dengan mengkerutkan dahinya.
“Aku mau ngomong sesuatu Anita.” Ucapku Khidmat bagai membaca pancasila.
“Iya?”
“Aku mau…” Dengan keras Beny mendorong aku hingga tersungkur.
“Apa lo! Minggir lo, dasar tolol! Anita udah capek dan mau pulang sama aku!” teriak Beny di depan Anita
Anita beranjak pergi dengan Beny sambil memberi senyum. Aku menahan tangan kanan Anita, menatap matanya pekat. “Nit, dari semua obrolanku denganmu aku banyak merasa keanehan. Waktu melambat, pandanganku hanya tertuju pada keindahanmu, pandanganku selain kamu menjadi kabur dan semesta mendadak hening. Dan setiap saat itu, aku merasa utuh. Aku percaya kamulah tulang rusukku, dan maukah kamu mengisi lubang hampa di dada ini?” aku mengatakan semuanya dengan lancar.
Bibir Anita tertutup rapat, pipinya memerah dan pupil matanya membesar. “Dan ini bunga yang tadi ku petik dengan segala kekuranganku. Aku ingin kamu memilikinya. Memiliki setiap keindahannya, setiap harum yang bertaburan, setiap warna yang memanjakan mata.” Ucapku sembari memberi Anita bunga daisy putih. Anita tersenyum lebar. Sedangkan Beny mulai menghampiriku dan memukul wajahku. Aku jatuh mencium paving.
“Beny! kamu jangan kasar begitu!”
kata Anita sambil menarik tanganku untuk berdiri.
“Dia layak, karena dia gak tahu diri. Udah jelek dan culun dia masih berani deketin cewek cantik seperti kamu.” Ucap Beny dengan dagu terangkat.
“Kita putus,!”
“Apa?, gitu aja kamu mutusin aku!!” kata Beny tidak terima keputusan Anita.
“Dia layak, karena dia gak tahu diri. Udah jelek dan culun dia masih berani deketin cewek cantik seperti kamu.” Ucap Beny dengan dagu terangkat.
“Kita putus,!”
“Apa?, gitu aja kamu mutusin aku!!” kata Beny tidak terima keputusan Anita.
“kita g cocok, aku nerima kamu
sebagai pacarku karena temen-temen paksa aku, katanya kita serasi tapi aku
salah menilai kamu” Anita mencoba memberian alasan.
“Apa?! Kamu harusnya bersyukur
punya pacar kayak aku!” kata Beny kepada Anita, tetapi dia tak mempedulikannya.
“Ya udah kalau itu mau kamu, kamu akan nyesel!” Beny pergi dengan motornya dan menancap gas.
“Ya udah kalau itu mau kamu, kamu akan nyesel!” Beny pergi dengan motornya dan menancap gas.
“Kamu baik-baik aja kan?” Tanyaku khawatir dengan keadaan Anita.
“Kamu lucu ya! udah lebam begitu masih aja mikirin orang lain.”
Aku memberi bunga daisy tadi ke Anita. Dia menerimanya dan sambil mencium aroma bunga dia tersenyum.
“Ini buat kamu.” Anita menyentuh tulang rusuknya solah mengambil sesuatu dan menaruh tangannya ke tanganku.
“Ini tulang rusukku. Cocok kan?” Tanya Anita dengan pipi yang memerah.
“Haha, aku akan selalu merawatnya, dan aku percaya itu akan melekat permanen.”
aku dan Anita terpaku satu sama lain, waktu melambat bagi kami berdua. Tapi rasa sakit lebam ini masih menyadarkanku, dengan perasaan bertanya-tanya aku menanyakan satu hal
“Jadi kita pacaran?”
To be continued...
No comments:
Post a Comment